Salah satu pilar pembangunan
ekonomi Indonesia terletak pada industri perbankan. Pengakuan secara yuridis
formal mengenai eksistensi perbankan sudah berlangsung lebih kurang 39 tahun
sejak dilahirkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok
Perbankan. Lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 didasarkan kepada
pemikiran dan jiwa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor
XVIII/MPRS/1966 yang menginginkan perlunya penilaian kembali terhadap Tata
Perbankan. Pengaturan Tata Perbankan dilandasi kepada hal-hal sebagai berikut: pertama, tata perbankan harus merupakan
suatu kesatuan sistem yang menjamin adanya kesatuan pimpinan dalam mengatur
seluruh perbankan di Indonesia serta mengawasi pelaksanaan kebijaksanaan
moneter pemerintah di bidang perbankan; kedua,
memobilisasikan dan memperkembangkan seluruh potensi yang bergerak di bidang
perbankan berdasarkan asas-asas demokrasi ekonomi; ketiga, membimbing dan memanfaatkan segala potensi tersebut bagi
kepentingan perbaikan ekonomi rakyat. Dalam undang-undang tersebut tidak
dijumpai pernyataan yang tegas mengenai fungsi perbankan Indonesia. Dengan
demikian, pengertian dari hukum perbankan adalah himpunan peraturan berupa UU,
peraturan Pemerintah dan keputusan-keputusan lainnya yang dikeluarkan instansi
yang berwenang, yang berkaitan dengan bank dan transaksi perbankan lainnya.
Sesuai dengan dinamika
perekonomian nasional dan internasional diikuti perubahan budaya yang bergerak
cepat dengan tantangan yang semakin kompleks dan meluas, maka Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1967 perlu disusun kembali dengan mengadakan pembaharuan pada
tataran idealistik hukum sehingga mampu menyahuti realistik hukum. Pembaharuan
diawali dengan adanya indikasi perubahan di bidang perbankan sejak tahun 1983
yang diikuti dengan kebijakan baru di bidang moneter dan perbankan yang dikenal
dengan tahap awal deregulasi. Kebijakan selanjutnya diikuti dengan Paket Juni
(Pakjun) 1983, disusul dengan Paket Oktober (Pakto) 1988, Pakjun 1990, Paket
Februari 1991, dan mencapai puncaknya pada tahun 1992 dengan melahirkan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Melalui undang-undang ini
dinyatakan bahwa perbankan memiliki fungsi utama sebagai penghimpun dan
penyalur dana masyarakat. Fungsi perbankan tersebut pada era reformasi tetap
dikukuhkan dan tidak mengalami perubahan sebagaimana terlihat dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Undang-undang No. 10 Tahun
1998 ini membedakan bank berdasarkan kegiatan usahanya menjadi dua, yaitu bank
yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan bank yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Sebagaimana disebutkan dalam butir
13 Pasal 1 Undang-undang No. 10 Tahun 1998 memberikan batasan pengertian
prinsip syariah sebagai aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara Bank
dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau
kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan Syariah, antara lain, pembiayaan
berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip
penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh
keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa
murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan
atas barang yang disewa dari pihak Bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina)
Dengan fungsi perbankan yang
demikian maka kehadiran bank di dalam masyarakat sebagai badan usaha memiliki
arti yuridis dan peran yang sangat strategis dalam proses pembangunan nasional.
Dalam agenda pembangunan nasional tahun 2004 – 2009 secara politis dikatakan
bahwa kondisi perbankan dan lembaga keuangan lainnya belum mantap. Lemahnya
pengaturan dan pengawasan terhadap produk perbankan dan keuangan yang semakin
bervariasi dan kompleks, serta dalam mengantisipasi globalisasi perdagangan
jasa dan inovasi teknologi informasi, telah meningkatkan arus transaksi
keuangan masuk dan keluar Indonesia. Pernyataan politik hukum ini pada tataran
landasan teknis operasional menghendaki adanya perubahan Undang-Undang
Perbankan di masa yang akan datang. Politik hukum yang dimaksudkan adalah
aktivitas memilih suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dengan keharusan untuk
menentukan suatu pilihan mengenai tujuan dan cara-cara yang hendak dipakai
untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam kaitannya dengan politik hukum perbankan
adalah bagaimana arahan dari kehendak pelaku politik yang memiliki beraneka
kepentingan hukum untuk mewujudkan tujuan negara, dan dalam hal yang kongkret
politik hukum merupakan alat untuk merespons persoalan perbankan melalui
pembuatan undang-undang dalam rangka mencapai tujuan negara. Beberapa hal yang
harus disikapi adalah dengan meletakkan asas hukum (rechtsbeginsel, principle of law) perbankan yang sesuai dengan
cita-cita masyarakat terkini dengan tetap mempertahankan eksistensi prinsip
kepercayaan dan kehati-hatian (prudential
banking) dalam menjalankan usaha bank. Selain itu, pengelolaan bank harus
didasarkan kepada asas-asas tata pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance).
Pada saat ini pelaksanaan
fungsi perbankan terlihat dari pengaturan usaha bank yang ditetapkan dalam
Undang-Undang Perbankan. Usaha bank yang dimaksud tidak bersifat limitatif
melainkan enumeratif, sehingga memungkinkan hubungan antara bank dengan
nasabahnya untuk melakukan perjanjian yang tidak bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Dalam arti yuridis, fungsi
perbankan sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat merupakan esensi
perjanjian yang meliputi 2 (dua) hal yaitu menghimpun dana dari masyarakat,
disebut sebagai perjanjian simpanan, dan menyalurkan dana ke masyarakat,
disebut sebagai perjanjian kredit bank. Perjanjian simpanan dan perjanjian
kredit bank pada bank konvensional berbeda dengan perjanjian simpanan dan
perjanjian pembiayaan pada bank syariah. Perbedaan ini terletak pada filsafat
yang dianut dari kedua sistem bank yang bersangkutan. Bank syariah tidak
menggunakan sistem bunga, sedangkan bank konvensional memakai sistem bunga
dalam kegiatan usahanya. Di samping itu, terdapat perbedaan pada aspek
operasional, sosial, dan organisasinya. Sebenarnya istilah bank konvensional
kurang tepat jika hendak dipersandingkan atau diperlawankan dengan bank
syariah. Lebih tepat dipakai frase “bank non-syariah”. Seolah-olah bank
konvensional itu kuno, kolot, dan tidak membawa perubahan. Kenyataan yuridis
dalam ius constitutum, figur-figur
hukum yang lahir dari produk bank non-syariah lebih besar frekuensinya
dibandingkan dengan bank syariah. Kedua bentuk perjanjian tersebut akan dilihat
dalam perspektif hukum perdata yang mencakup hukum perjanjian pada satu sisi
dan hukum benda pada sisi lainnya khususnya hukum jaminan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar