Jumat, 17 Agustus 2012

Pengertian Hukum Perbankan dan Fungsi Perbankan di Indonesia


Salah satu pilar pembangunan ekonomi Indonesia terletak pada industri perbankan. Pengakuan secara yuridis formal mengenai eksistensi perbankan sudah berlangsung lebih kurang 39 tahun sejak dilahirkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan. Lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 didasarkan kepada pemikiran dan jiwa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XVIII/MPRS/1966 yang menginginkan perlunya penilaian kembali terhadap Tata Perbankan. Pengaturan Tata Perbankan dilandasi kepada hal-hal sebagai berikut: pertama, tata perbankan harus merupakan suatu kesatuan sistem yang menjamin adanya kesatuan pimpinan dalam mengatur seluruh perbankan di Indonesia serta mengawasi pelaksanaan kebijaksanaan moneter pemerintah di bidang perbankan; kedua, memobilisasikan dan memperkembangkan seluruh potensi yang bergerak di bidang perbankan berdasarkan asas-asas demokrasi ekonomi; ketiga, membimbing dan memanfaatkan segala potensi tersebut bagi kepentingan perbaikan ekonomi rakyat. Dalam undang-undang tersebut tidak dijumpai pernyataan yang tegas mengenai fungsi perbankan Indonesia. Dengan demikian, pengertian dari hukum perbankan adalah himpunan peraturan berupa UU, peraturan Pemerintah dan keputusan-keputusan lainnya yang dikeluarkan instansi yang berwenang, yang berkaitan dengan bank dan transaksi perbankan lainnya.
Sesuai dengan dinamika perekonomian nasional dan internasional diikuti perubahan budaya yang bergerak cepat dengan tantangan yang semakin kompleks dan meluas, maka Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 perlu disusun kembali dengan mengadakan pembaharuan pada tataran idealistik hukum sehingga mampu menyahuti realistik hukum. Pembaharuan diawali dengan adanya indikasi perubahan di bidang perbankan sejak tahun 1983 yang diikuti dengan kebijakan baru di bidang moneter dan perbankan yang dikenal dengan tahap awal deregulasi. Kebijakan selanjutnya diikuti dengan Paket Juni (Pakjun) 1983, disusul dengan Paket Oktober (Pakto) 1988, Pakjun 1990, Paket Februari 1991, dan mencapai puncaknya pada tahun 1992 dengan melahirkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Melalui undang-undang ini dinyatakan bahwa perbankan memiliki fungsi utama sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Fungsi perbankan tersebut pada era reformasi tetap dikukuhkan dan tidak mengalami perubahan sebagaimana terlihat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Undang-undang No. 10 Tahun 1998 ini membedakan bank berdasarkan kegiatan usahanya menjadi dua, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Sebagaimana disebutkan dalam butir 13 Pasal 1 Undang-undang No. 10 Tahun 1998 memberikan batasan pengertian prinsip syariah sebagai aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara Bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan Syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak Bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina)
Dengan fungsi perbankan yang demikian maka kehadiran bank di dalam masyarakat sebagai badan usaha memiliki arti yuridis dan peran yang sangat strategis dalam proses pembangunan nasional. Dalam agenda pembangunan nasional tahun 2004 – 2009 secara politis dikatakan bahwa kondisi perbankan dan lembaga keuangan lainnya belum mantap. Lemahnya pengaturan dan pengawasan terhadap produk perbankan dan keuangan yang semakin bervariasi dan kompleks, serta dalam mengantisipasi globalisasi perdagangan jasa dan inovasi teknologi informasi, telah meningkatkan arus transaksi keuangan masuk dan keluar Indonesia. Pernyataan politik hukum ini pada tataran landasan teknis operasional menghendaki adanya perubahan Undang-Undang Perbankan di masa yang akan datang. Politik hukum yang dimaksudkan adalah aktivitas memilih suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dengan keharusan untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan dan cara-cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam kaitannya dengan politik hukum perbankan adalah bagaimana arahan dari kehendak pelaku politik yang memiliki beraneka kepentingan hukum untuk mewujudkan tujuan negara, dan dalam hal yang kongkret politik hukum merupakan alat untuk merespons persoalan perbankan melalui pembuatan undang-undang dalam rangka mencapai tujuan negara. Beberapa hal yang harus disikapi adalah dengan meletakkan asas hukum (rechtsbeginsel, principle of law) perbankan yang sesuai dengan cita-cita masyarakat terkini dengan tetap mempertahankan eksistensi prinsip kepercayaan dan kehati-hatian (prudential banking) dalam menjalankan usaha bank. Selain itu, pengelolaan bank harus didasarkan kepada asas-asas tata pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance).
Pada saat ini pelaksanaan fungsi perbankan terlihat dari pengaturan usaha bank yang ditetapkan dalam Undang-Undang Perbankan. Usaha bank yang dimaksud tidak bersifat limitatif melainkan enumeratif, sehingga memungkinkan hubungan antara bank dengan nasabahnya untuk melakukan perjanjian yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Dalam arti yuridis, fungsi perbankan sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat merupakan esensi perjanjian yang meliputi 2 (dua) hal yaitu menghimpun dana dari masyarakat, disebut sebagai perjanjian simpanan, dan menyalurkan dana ke masyarakat, disebut sebagai perjanjian kredit bank. Perjanjian simpanan dan perjanjian kredit bank pada bank konvensional berbeda dengan perjanjian simpanan dan perjanjian pembiayaan pada bank syariah. Perbedaan ini terletak pada filsafat yang dianut dari kedua sistem bank yang bersangkutan. Bank syariah tidak menggunakan sistem bunga, sedangkan bank konvensional memakai sistem bunga dalam kegiatan usahanya. Di samping itu, terdapat perbedaan pada aspek operasional, sosial, dan organisasinya. Sebenarnya istilah bank konvensional kurang tepat jika hendak dipersandingkan atau diperlawankan dengan bank syariah. Lebih tepat dipakai frase “bank non-syariah”. Seolah-olah bank konvensional itu kuno, kolot, dan tidak membawa perubahan. Kenyataan yuridis dalam ius constitutum, figur-figur hukum yang lahir dari produk bank non-syariah lebih besar frekuensinya dibandingkan dengan bank syariah. Kedua bentuk perjanjian tersebut akan dilihat dalam perspektif hukum perdata yang mencakup hukum perjanjian pada satu sisi dan hukum benda pada sisi lainnya khususnya hukum jaminan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar