PENDAHULUAN
Sejak
didirikan, Bank Dunia telah mengambil banyak peran bagi perkembangan dunia
Internasional. Sebagaimana tujuan didirikannya, Bank Dunia telah membantu
negara-negara korban perang, terutama di wilayah Eropa, untuk segera
merekonstruksi infrastruktur dan perekonomiannya yang hancur pascaperang dunia
kedua. Seteah proses rekonstruksi pascaperang selesai, Bank Dunia memulai peran
baru sebagai lembaga pemberi pinjaman uang berbunga rendah untuk negara-negara
berkembang yang membutuhkan.
LANDASAN TEORI
Penulis
ingin memberikan pembahasan tentang peranan bank dunia kepada pembaca dimana
bank dunia telah mengambil banyak peran bagi perkembangan dunia Internasional.
PEMBAHASAN
Sejak
didirikan, Bank Dunia telah mengambil banyak peran bagi perkembangan dunia
Internasional. Sebagaimana tujuan didirikannya, Bank Dunia telah membantu
negara-negara korban perang, terutama di wilayah Eropa, untuk segera
merekonstruksi infrastruktur dan perekonomiannya yang hancur pascaperang dunia
kedua. Seteah proses rekonstruksi pascaperang selesai, Bank Dunia memulai peran
baru sebagai lembaga pemberi pinjaman uang berbunga rendah untuk negara-negara
berkembang yang membutuhkan.
Bank
Dunia mendanai proyek-proyek di berbagai negara untuk mengembangkan beberapa
hal, seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, pelayanan
publik, pengentasan kemiskinan, hingga lingkungan hidup. Bank Dunia seringkali
memberikan bantuan dalam bentuk dua hal sekaligus, dana pinjaman dan juga
rekomendasi kebijakan, terutama terkait kebijakan keuangan atau yang
berhubungan dengan proyek yang didanai.
Bagaikan
pisau bermata dua, bantuan dari Bank Dunia dirasakan oleh negara-negara
peminjam memberikan dua dampak sekaligus, di mana satu dan yang lainnya saling
bertolak belakang. Di satu sisi, bantuan Bank Dunia seringkali merupakan
penyelamat keuangan dan perekonomian negara peminjam. Namun di sisi lain,
bantuan tersebut juga tidak jarang menimbulkan masalah baru yang kadang jauh
lebih besar dari masalah yang telah diatasi.
Negara-negara
peminjam biasanya merupakan negara berkembang yang notabene-nya
tergolong “miskin”, apalagi jika dibandingkan dengan negara maju. Mereka
membutuhkan suntikan modal untuk proyek-proyek di berbagai bidang, meskipun
biasanya berujung pada satu harapan, yaitu menggerakkan dan menggeliatkan roda
perekonomian. Dengan hal tersebut, mereka bisa mendongkrak keuangan dan
pendapatan dalam negeri. Modal inilah yang seringkali tidak bisa mereka
dapatkan kecuali melalui lembaga-lembaga keuangan internasional. Dalam konteks
ini, Bank Dunia memberikan keuntungan bagi negara-negara peminjam karena
biasanya pinjaman yang diberikan tergolong berbunga rendah.
Bergeraknya
roda perekonomian merupakan sesuatu yang sangat penting bagi suatu negara.
Dengan roda perekonomian yang terus bergerak positif, negara-negara dunia
ketiga memiliki sedikit harapan untuk menyusul atau setidaknya menyamai
perekonomian di negara-negara maju. Hal ini tentunya menjadi keinginan seluruh
negara berkembang, sehingga tidak mengherankan jika kemudian Bank Dunia dan
juga lembaga-lembaga keuangan internasional lainnya menjadi penyedia “jalan
pintas” menuju terwujudnya harapan tersebut.
Jika
dilihat secara global, bantuan-bantuan dana kepada masing-masing negara
peminjam telah menjadi penyangga, sehingga perekonomian dunia menjadi lebih
stabil dan terkendali. Hal ini tentunya juga sesuai dengan tujuan keberadaan
dari Bank Dunia. Karena keruntuhan, atau setidaknya kemunduran ekonomi suatu
negara (yang mungkin terjadi tanpa bantuan Bank Dunia) dapat berdampak bagi
negara-negara lainnya, baik di tingkat regional ataupun multinasional.
Namun
masalahnya adalah, seperti yang sudah disebutkan, bahwa bantuan dana tersebut
seringkali justru menimbulkan masalah-masalah baru yang kadang jauh lebih
serius dari masalah yang telah ditanganinya. Tidak bisa dipungkiri, rata-rata
negara peminjam biasanya merupakan negara dengan sistem kelembagaan dan
profesionalisme pengelolaan uang yang kurang dibandingkan dengan negara-negara
maju.
Analogi
sederhananya adalah seperti seorang entrepreneur amatir yang sedang
berusaha menjalankan roda bisnisnya dengan uang pinjaman dari investor kaya. Di
satu sisi, pinjaman uang tersebut menjadi solusi karena tanpa modal uang
pinjaman itu bisnis tidak akan bisa dijalankan sama sekali. Tapi di sisi lain, entrepreneur
amatir seperti itu kemungkinan besar tidak ahli dalam pengelolaan modal
yang telah diberikan, sehingga resiko kerugiannya sangat besar. Hal ini bisa
disebabkan kesalahan dalam menggunakan uang, tidak efektif, tidak efisien, atau
bahkan tidak bermanfaat.
Kembali
ke konteks negara-negara peminjam, dana pinjaman dari Bank Dunia seringkali
digunakan untuk proyek-proyek yang bisa jadi salah sasaran. Alih-alih mengambil
keuntungan dari uang pinjaman yang diberikan, justru kerugian yang didapat
beserta utang berbunga (meskipun rendah) yang terus menumpuk. Dalam hal inilah
kemudian seringkali pinjaman dari Bank Dunia disertai prasyarat-prasyarat
ataupun anjuran-anjuran berupa kebijakan keuangan atau kebijakan yang terkait
dengan pelaksanaan proyek yang didanai.
Sayangnya,
prasyarat dan anjuran ini justru sering dituding sebagai “biang keladi”
kerumitan dan kemelut utang yang menimpa negara-negara peminjam. Bank Dunia
dianggap terlalu sering menyamaratakan konsep dan asumsi bagi seluruh negara-negara
peminjam, padahal sangat mungkin satu kebijakan yang cocok di satu negara
justru merusak jika diterapkan di negara yang lain. Sebagai contoh,
liberalisasi keuangan dan kapitalisme yang senantiasa dikampanyekan Bank Dunia
(karena didominasi dari sejak pembentukannya oleh dua motor kapitalisme, AS dan
Inggris), bisa berdampak sangat negatif jika negara yang menerapkannya tidak
memiliki kesiapan yang baik, sebagaimana terjadi pada Indonesia yang mengalami
krisis pada tahun 1997.
Prasyarat
dan anjuran lain dari Bank Dunia yang sering jadi bahan tudingan adalah
mengenai pelaksana atau pihak yang terlibat dalam proyek. Dengan alasan
ketidakmampuan negara peminjam untuk secara mandiri menjalankan proyek tersebut
karena kendala teknologi dan profesionalisme, Bank Dunia secara eksplisit
maupun implisit, secara langsung maupun tidak langsung, seringkali mensyaratkan
keterlibatan negara maju yang notabene-nya merupakan negara pendonor
dana bantuan itu. Dalam hal ini, negara maju yang dimaksud diminta untuk menjadi
semacam “kontraktor” ataupun konsultan yang terlibat langsung dalam menjalankan
proyek tersebut. Dampaknya adalah kembalinya aliran uang pinjaman kepada negara
peminjam.
Aliran
uang pinjaman kepada negara peminjam merupakan salah satu tema sentral yang menjadi
bahan kontroversi dari setiap proyek yang didanai Bank Dunia. Hal ini dapat
dianalogikan secara sederhana dengan adanya seorang entrepreneur amatir
yang meminjam uang untuk berbisnis menjalankan proyek tertentu, tetapi kemudian
karena ketidakmampuannya menjalankan proyek, ia justru meng-hire sang
pemberi pinjaman. Dengan demikian, yang terjadi adalah entrepreneur tersebut
menanggung dua resiko, resiko kerugian dari proyek bisnis yang dijalankan serta
resiko menanggung utang dari bunga pinjaman. Sementara di sisi lain, sang
peminjam menikmati dua keuntungan, keuntungan gaji ataupun imbalan atas
kerjanya sebagai pihak yang menjalankan proyek dan keuntungan dari bunga
pinjaman. Bagi pihak peminjam, kerugian atas proyek yang dilaksanakan tidak
menjadi masalah baginya, karena uang ganti ruginya pun ditanggung oleh entrepreneur
sebagai pihak peminjam.
Kembali
ke dalam konteks negara peminjam, alih-alih uang pinjaman menjadi stimulasi
untuk menggerakkan roda ekonomi, sebagian besarnya justru menjadi penggerak
roda ekonomi di negara pemberi pinjaman. Sementara yang tertinggal di negara
peminjam hanyalah bentuk fisik maupun non-fisik hasil dari proyek yang telah
dilaksanakan.
Akumulasi
dari dampak-dampak negatif di atas adalah kemelut utang yang semakin menumpuk
bagi negara peminjam. Selain itu, bisa terjadi kerawanan sosial di dalam negeri
peminjam akibat penggunaan dana proyek yang salah sasaran, tidak profesional,
atau banyak “kebocoran”. Sehingga mayoritas masyarakat negara peminjam yang
seharusnya menikmati uang pinjaman yang diberikan justru merasa tidak mendapat
apa-apa, yang ada hanyalah segelintir orang kaya di dalam negeri yang semakin
kaya lantaran mendapat bagian “jatah” proyek yang telah dilaksanakan.
Jika
tidak diselesaikan, akumulasi masalah-masalah yang terjadi di masing-masing
negara peminjam dapat terakumulasi lagi menjadi masalah global. Tanpa
penanganan dan perhatian serius dari dunia internasional terhadap masalah ini,
termasuk Bank Dunia, stabilitas ekonomi global suatu saat dapat sangat terganggu,
bahkan mengakibatkan chaos. Alih-alih menjaga kestabilan ekonomi
global, mungkin yang dijalankan Bank Dunia dan lembaga keuangan sejenis justru
menunda gejolak ekonomi global saat ini, dan menumpuknya hingga “meledak” saat
individu dan negara peminjam tidak lagi bisa menampung masalah yang mereka
hadapi.
KESIMPULAN
Bank
Dunia telah banyak membantu negara-negara dunia ketiga dalam permodalan bagi
pembangunan dalam negerinya masing-masing. Berbagai proyek, mulai dari bidang
pendidikan, kesehatan, pelayanan publik, liberalisasi ekonomi dan keuangan,
hingga lingkungan hidup menjadi fokus bagi pengucuran dana pinjaman berbunga
rendah oleh Bank Dunia. Dengan modal pinjaman inilah, negara-negara berkembang
yang notabene adalah negara miskin dan kekurangan modal, memiliki
harapan untuk memperbaiki kondisi ekonominya dan mengejar ketertinggalan yang
sangat jauh dari negara-negara maju. Bahkan tidak jarang, uang pinjaman inilah
yang menjadi penyangga bagi “nafas” perekonomian negara peminjam yang kadang
“tersengal-sengal” dihantam badai krisis.
DAFTAR PUSTAKA