PENDAHULUAN
Kebijakan politik
pemerintahan Presiden Soekarno yang mendekat ke blok Uni Soviet menyulitkan
Bank Dunia yang memiliki paham berseberangan untuk mengambil peran lebih banyak
bagi Indonesia. Oleh karena itu, Bank Dunia baru mulai berperan sebagai lembaga
pemberi pinjaman bagi Indonesia pada saat awal masa pemerintahan Presiden
Soeharto, yaitu sekitar tahun 1968
PEMBAHASAN
Kebijakan politik
pemerintahan Presiden Soekarno yang mendekat ke blok Uni Soviet menyulitkan
Bank Dunia yang memiliki paham berseberangan untuk mengambil peran lebih banyak
bagi Indonesia. Oleh karena itu, Bank Dunia baru mulai berperan sebagai lembaga
pemberi pinjaman bagi Indonesia pada saat awal masa pemerintahan Presiden
Soeharto, yaitu sekitar tahun 1968. Namun sebelum memberikan pinjaman, Bank
Dunia “menjajaki” Indonesia dengan memberikan bantuan teknis untuk identifikasi
kebijakan makroekonomi, kebijakan sektoral yang diperlukan, dan kebutuhan
pendanaan yang kritis (Hutagalung, 2009).
Di masa-masa awal
pemberian pinjaman, Indonesia masih dianggap sebagai negara yang memiliki nilai
credit worthiness yang rendah. Oleh karena itu, pinjaman yang
diberikan oleh Bank Dunia pada saat itu menggunakan skema IDA atau pinjaman
tanpa bunga, kecuali administrative fee ¾ persen per tahun dan jangka
waktu pembayaran 35 tahun dengan masa tenggang 10 tahun. Dana pinjaman pertama
yang diberikan kepada Indonesia adalah sebesar 5 juta dolar AS pada September
1968 (Hutagalung, 2009).
Pada masa-masa
awal tersebut, dana pinjaman dari Bank Dunia digunakan untuk pembangunan di
bidang pertanian, perhubungan, perindustrian, tenaga listrik, dan pembangunan
sosial. Pada tahun-tahun berikutnya, Indonesia berhasil menunjukkan performa
ekonomi yang memuaskan, dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen
per tahun, jauh lebih besar dari rata-rata pertumbuhan ekonomi negara peminjam
yang lain. Oleh karena itu, sejak akhir dekade 70-an Indonesia sudah mulai
dianggap sebagai negara yang lebih creditworthy untuk memperoleh
pinjaman Bank Dunia yang konvensional atau dengan menggunakan skema IBRD.
Berbeda dari periode sebelumnya, pada dekade 80-an, pinjaman uang Bank Dunia
terlihat lebih terarah pada masalah deregulasi sektor keuangan, selain masih
tetap digunakan bagi pengembangan sektor-sektor sebagaimana yang telah
disebutkan sebelumnya.
Pada awal dekade
90-an hingga sebelum memasuki krisis moneter tahun 1997, Indonesia menunjukkan
performa ekonomi yang mengagumkan, bahkan sempat dijuluki sebagai salah satu Asian
Miracle. Laporan dan analisis Bank Dunia terhadap perekonomian Indonesia
acap kali dihiasi dengan berbagai pujian. Sayangnya, sebagaimana terjadi pada
banyak negara lain seperti yang sudah dijelaskan di bagian sebelumnya, performa
ekonomi yang memikat tersebut ternyata lebih tepat sebagai “penundaan masalah”.
Kekeliruan dan
dampak negatif dari bantuan Bank Dunia, baik berupa dana pinjaman maupun
anjuran kebijakannya, terbukti nyata (meski bukan faktor satu-satunya) pada
saat Indonesia mengalami krisis moneter pada tahun 1997. Liberalisasi sektor
keuangan yang didukung penuh oleh Bank Dunia terbukti tidak cocok, bahkan
mencelakakan, Indonesia. Pada saat krisis terjadi, mungkin salah satu bantuan
paling berharga yang diberikan oleh Bank Dunia berupa persetujuan atas
permintaan pemerintah Indonesia untuk membatalkan pinjaman yang tidak terserap
sebesar 1,5 miliar dolar AS dan menyesuaikan (realokasi) pinjaman lainnya
sebesar 1 miliar dolar AS untuk membiayai program mendesak, seperti bantuan
biaya sekolah, beasiswa, dan jaring pengaman sosial.
Kemudian,
pascakrisis yang melanda Indonesia, bantuan Bank Dunia masih terus berlanjut,
terutama difokuskan pada kelanjutan pemulihan ekonomi, penciptaan pemerintah
yang transparan, dan penyediaan pelayanan umum yang lebih baik, terutama bagi
kelompok miskin. Terakhir, Bank Dunia kembali menyetujui dua pinjaman kebijakan
pembangunan kepada Indonesia dengan nilai total 800 juta dolar AS untuk
mendukung program prioritas reformasi yang dimotori Pemerintah Indonesia pada
bulan November 2010 (Purwoko, 2010).
Dari penjelasan
tahap demi tahap bantuan Bank Dunia kepada Indonesia sejak tahun 1968, kita
dapat melihat betapa besar peran yang dimainkan oleh Bank Dunia terhadap
pembangunan dan pasang surut perekonomian nasional. Mulai dari infrastruktur
yang dibangun selama dekade 1970-an hingga kebijakan-kebijakan terbaru di era
reformasi, semuanya tidak terlepas dari peran Bank Dunia.
Krisis moneter
yang melanda Indonesia tahun 1997 seharusnya dapat memberi pelajaran berharga
mengenai dua mata pisau yang diberikan oleh “bantuan” Bank Dunia. Terlepas dari
kontroversi niat dan tujuan pemberian bantuan oleh Bank Dunia, Indonesia
sejatinya bisa memilih menjadi negara yang mandiri dan menentukan masa depannya
sendiri, mengukur kemampuan membayar dan menghitung jumlah dana yang mungkin
dipinjam, menyeleksi proyek yang dijalankan agar sesuai dengan sasaran serta
mencapai efektifitas dan efisiensi, menilik kebijakan yang bisa diliberalisasi
dan yang tidak, serta membekali diri dengan pengetahuan dan teknologi. Karena
bagaimanapun, kejahatan tidak hanya disebabkan niat dari pelakunya, tapi juga
kelengahan dan kesempatan yang diberikan oleh korbannya.
KESIMPULAN
peran
Bank Dunia mulai tampak jelas setelah masa pemerintahan Presiden Soekarno yang
cenderung dekat dengan poros Uni Soviet berakhir. Hingga saat ini, Indonesia
masih menjadi salah satu negara yang dipercaya oleh Bank Dunia untuk meminjam
dana untuk berbagai keperluan, terutama untuk pembangunan infrastruktur,
pendidikan, pelayanan publik, pertanian dan lingkungan hidup.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar